The purpose of this article
is to analyze or describe the implementation of culturally responsive
mathematics learning in class XI IPS 2 SMA N 4 Tegal. Culturally responsive learning or relevant pedagogy is
applied based on the theoretical framework of the study. The conclusion of
this article is that knowing the concept of culturally responsive learning
and practicing it is very important. Teachers can use various
learner-centered strategies, such as discovery learning, activity centers,
group work, and games. Similarly, teachers incorporate learners' culture into
their math and science classes, by incorporating learners' interests into
lessons, exposing learners to what they like, and using real-life examples
that learners find relevant Keywords: Cultural Responsive Learning, Cultural
Responsive Mathematics Learning, High School Pembelajaran
Matematika yang Responsif Kultur di kelas XI IPS 2 SMA N 4 Tegal
Abstrak Tujuan dari artikel ini
adalah untuk analisa
atau
mendeskripsikan mengenai pelaksanaan pembelajaran matematika responsif kultur
di kelas XI IPS 2 SMA N 4 Tegal. Pembelajaran yang tanggap terhadap budaya
atau pedagogi yang relevan dengan diterapkan berdasarkan kerangka teori
studi. Kesimpulan dari artikel ini adalah mengetahui
konsep tentang pembelajaran yang responfif kultur dan mempraktikannya adalah hal yang sangat
penting guru dapat menggunakan berbagai strategi yang berpusat pada peserta
didik, seperti pembelajaran penemuan, pusat-pusat kegiatan, kerja kelompok,
dan permainan. Demikian pula, para guru memasukkan budaya peserta didik ke
dalam kelas matematika dan sains mereka, dengan memasukkan minat peserta
didik ke dalam pelajaran, mengekspos peserta didik pada hal yang mereka
sukai, dan menggunakan contoh kehidupan nyata yang dianggap relevan oleh
peserta didik Kata Kunci: Pembelajaran Responsif Kultur, Pembelajaran Matematika, SMA |
Banyak masalah dalam masyarakat
disebabkan oleh perbedaan budaya dan kepribadian dalam segala aspek kehidupan.
Indonesia merupakan negara dengan beragam suku budaya dan agama. Penduduk
Indonesia terdiri dari penduduk asli keturunan Cina, Arab dan India, serta
kelompok India atau Eurasia, yaitu campuran antara orang Indonesia dan orang
Eropa. Masyarakat adat Indonesia sendiri memiliki lebih dari 300 suku bangsa
dengan identitas budaya dan bahasanya masing-masing. Ini belum termasuk
keberadaan lima agama besar yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha,
serta kepercayaan suku dan agama tertentu yang dianut oleh masyarakat
Indonesia. Keragaman Indonesia adalah kekuatannya, tetapi kurangnya pemahaman,
toleransi dan saling pengertian dalam menghadapi perbedaan membuatnya rawan
konflik. Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah melalui
pendidikan.
Pendidikan sebagai upaya membangun bangsa dapat dengan bangga menanggapi budaya yang ada. Melalui pendidikan, nilai-nilai toleransi dan saling pengertian dapat ditanamkan kepada masyarakat, terutama kepada anak-anak sejak dini. Pendidikan yang merangkul keberagaman dan mengakomodasi perbedaan untuk mencapai tujuan yang sama yaitu mencerdaskan adalah pendidikan yang responsif kultur. Pendidikan yang responsif kultur berarti menggunakan kebiasaan, karakteristik, pengalaman, dan perspektif peserta didik sebagai alat untuk pengajaran yang lebih baik di kelas. Ketika pengetahuan dan keterampilan akademis ditempatkan dalam pengalaman hidup dan kerangka acuan bagi peserta didik, pengetahuan dan keterampilan tersebut akan lebih bermakna secara pribadi, memiliki daya tarik yang lebih tinggi, dan dipelajari dengan lebih mudah dan menyeluruh. Pembelajaran seperti ini akan membantu peserta didik untuk melihat diri mereka sendiri dan komunitas mereka sebagai bagian dari sekolah dan ruang akademis lainnya, yang mengarah pada lebih banyak keterlibatan dan kesuksesan. Kultur atau budaya mengacu pada adat istiadat, bahasa, nilai, kepercayaan, dan pencapaian sekelompok orang. Budaya dan pengalaman hidup peserta didik yang memengaruhi cara mereka memahami dan memaknai dunia atau diri mereka sendiri merupakan bagian integral dari diri mereka sebagai pelajar.
Ada tiga komponen dari pedagogi
yang relevan secara budaya: (1) pembelajaran peserta
didik-memprioritaskan pertumbuhan intelektual peserta didik, termasuk kemampuan
mereka untuk memecahkan masalah; (2) kompetensi budaya-menciptakan
lingkungan di mana peserta didik menegaskan dan menghargai budaya asal mereka
sekaligus mengembangkan kefasihan dalam setidaknya satu budaya lain; dan (3) kesadaran kritis-mengajarkan peserta didik
bagaimana mengidentifikasi, menganalisis, dan memecahkan masalah dunia nyata,
terutama yang mengakibatkan ketidakadilan sosial terhadap kelompok-kelompok
yang terpinggirkan. Penelitian Gay (2018) menunjukkan lima komponen penting
dalam pengajaran yang tanggap budaya:
- Dasar pengetahuan yang kuat tentang keragaman budaya.
Guru harus memahami nilai-nilai budaya, tradisi, dan kontribusi kelompok ras
dan etnis yang berbeda kepada masyarakat, dan memasukkan pengetahuan tersebut
ke dalam pengajaran mereka.
- Kurikulum yang relevan secara budaya. Guru harus
memasukkan berbagai perspektif dalam pengajaran mereka dan memastikan gambar
yang ditampilkan di kelas-seperti di papan pengumuman-mewakili berbagai
keragaman. Guru juga harus mengontekstualisasikan isu-isu dalam ras, kelas,
etnis, dan gender.
- Ekspektasi yang tinggi untuk semua peserta didik. Guru
harus membantu peserta didik mencapai keberhasilan akademis sambil tetap
mengesahkan identitas budaya mereka.
- Penghargaan terhadap gaya komunikasi yang berbeda. Guru harus memahami gaya komunikasi yang berbeda dan memodifikasi interaksi di dalam kelas. Sebagai contoh, banyak komunitas kulit berwarna yang memiliki gaya komunikasi yang aktif dan partisipatif. Seorang guru yang tidak memahami konteks budaya ini mungkin akan berpikir bahwa seorang peserta didik bersikap tidak sopan dan menyuruh peserta didik tersebut untuk diam. Peserta didik tersebut mungkin akan diam.
- Penggunaan contoh-contoh instruksional multikultural.
Guru harus menghubungkan pengetahuan dan pengalaman budaya peserta didik dengan
pengetahuan baru.
Peserta didik membawa banyak
pengalaman budaya dan bahasa ke dalam kelas, sehingga sangat penting bagi guru
untuk menerapkan praktik pembelajaran matematika yang responsif kultur (PMRK).
Penelitian Abdulrahim (2020) menunjukkan bahwa PMRK dapat meningkatkan
keterlibatan peserta didik dan meningkatkan pembelajaran bagi peserta didik
dengan latar belakang budaya dan bahasa yang beragam di semua tingkatan kelas.
Oleh karena itu, program persiapan dan pengembangan profesional guru harus
berfokus pada pengembangan disposisi guru untuk menggunakan PMRK serta
membangun pengetahuan dan kompetensi mereka untuk menggunakan pendekatan
pengajaran ini.
Beberapa dari guru mungkin
berpikiran bahwa matematika adalah ilmu yang netral dan universal sehingga
tidak ada sangkut pautnya dengan keadaan sosial seperti isu-isu budaya. Padahal
pengajaran yang responsif terhadap budaya harus menjadi elemen integral dalam
program matematika untuk peserta didik minoritas bahwa pedagogi semacam itu
akan mendorong semangat tanggung jawab pribadi, yang akan memungkinkan peserta
didik untuk keluar dari lingkaran setan penindasan dan viktimisasi yang mereka
alami.
Untuk pertanyaan, apa saja praktik pengajaran matematika yang responsif kultur? Data menunjukkan beberapa tema dan pengajaran matematika yang sesuai dengan budaya bersifat inklusif dan mengakui bahwa hal tersebut bersifat multidimensi (Gay, 2018) serta melibatkan lebih dari sekedar upaya kurikuler. Dari data tersebut, muncul tujuh tema utama.
- Menghilangkan miskonsepsi tentang pengajaran dan pembelajaran matematika.
- Mengintegrasikan konten yang relevan secara budaya dengan isu-isu sosial dan keadilan.
- Menggunakan strategi pembelajaran yang relevan secara
budaya.
- Mempromosikan pembelajaran kolaboratif.
- Keterbukaan peserta didik terhadap pemikiran dan
pemecahan masalah yang beragam.
- Menghilangkan kebosanan di kelas matematika; dan
- Kesadaran Kritis, Advokasi, dan Upaya Guru.
Peserta didik di kelas XI IPS 2
SMA N 4 Tegal memiliki keberagaman seperti agama dan demografi. Selain Islam,
beberapa peserta didik memeluk agama lain, seperti Kristen. Selain itu,
beberapa peserta didik memiliki fisik yang berbeda karena perbedaan etnis.
Jangankan status sosial, ada perbedaan yang cukup besar bahkan jika Anda hanya
melihat bidang pekerjaan orang tua. Dalam konteks yang beragam ini, ada alasan
kuat mengapa peserta didik kelas XI IPS 2 membutuhkan pembelajaran matematika
yang responsif kultur.
Metode penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang lebih menekankan analisa atau deskriptif mengenai pelaksanaan pembelajaran matematika
responsif kultur di kelas XI IPS 2 SMA N Tegal, dengan materi limit fungsi
aljabar. Metode ini juga mengangkat fakta,
keadaan, variabel, dan fenomena-fenomena
yang terjadi ketika
penelitian berlangsung dan
menyajikan dengan apa adanya. Peneliti juga menganggap metode ini tepat
untuk pembelajaran matematika yang responsif kultur, supaya hasilnya dapat
dikaji lebih lanjut untuk mengenali kekurangan dan kelebihan serta
menemukan upaya penyempurnaannya. Dalam penelitian ini,
penulis akan melakukan pengumpulan data, analisis data, interpretasi data,
serta mengakhirinya dangan kesimpulan yang didasarkan pada analisis data.
Dalam mengimplementasikan
pendidikan yang responsif kultur di sekolah, perencanaan pembelajaran harus
terlebih dahulu memahami makna dan tujuan pembelajaran, serta memahami
elemen-elemen yang terlibat di dalamnya baik secara teoritis maupun praktis.
Kemampuan untuk membuat rencana pembelajaran adalah langkah pertama yang
dibutuhkan setiap guru untuk mencapai pengembangan karakter di sekolah dan
merupakan titik temu dari semua pengetahuan teoritis, keterampilan dasar, dan
pemahaman yang mendalam tentang objek dan situasi pembelajaran. Saya
membutuhkannya sebagai sebuah poin. RPP harus jelas tentang karakteristik
peserta didik dan kompetensi dasar.
Perencanaan pengembangan budaya
sekolah di SMA Negeri 4 Tegal dalam konteks RPP sering dikaitkan dengan
penyusunan dan pengelolaan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) lainnya. Hal
ini merupakan perkiraan atau prediksi guru untuk semua kegiatan. Guru dan
peserta didik, terutama dalam pembelajaran yang bergantung pada budaya.
Rencana pembelajaran harus
mendukung perencanaan pengembangan budaya sekolah dalam hal dimensi fisik,
nilai-nilai, dan pesan-pesan verbal. Sejauh peneliti melakukan observasi
lapangan, kami menemukan bahwa semua guru memiliki rencana pembelajaran dan
alat manajemen lainnya. Hal ini mencakup tujuan pembelajaran, sumber belajar,
dan rencana penilaian pembelajaran.
Integrasi pengajaran yang peka
budaya ke dalam rencana pembelajaran yang dilaksanakan guru tercermin dalam
penentuan nilai yang dikembangkan dalam kegiatan belajar mengajar. Lebih
tepatnya, pengembangan pengembangan kepribadian yang diintegrasikan ke dalam
proses pembelajaran dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian
pembelajaran pada semua mata pelajaran. Prinsip-prinsip yang dapat diadopsi
dalam desain perencanaan pembelajaran (pengembangan kegiatan pembelajaran dan
penilaian dalam kurikulum, RPP, materi), pelaksanaan dan penilaian proses
pembelajaran antara lain adalah prinsip-prinsip pembelajaran kontekstual yang
telah dipaparkan sebelumnya kepada para guru. Pada tahap ini, kurikulum,
rencana pembelajaran, dan bahan ajar dirancang sedemikian rupa sehingga isi dan
kegiatan pembelajaran memfasilitasi/menyampaikan pengajaran yang relevan secara
budaya.
Aktualisasi pembelajaran respnsif
kultur yang diintegrasikan dalam perencanaan pelaksaan pembelajaran adalah
menghilangkan miskonsepsi tentang pengajaran dan pembelajaran matematika.
Peserta didik cenderung menganggap dirinya tidak mampu dalam pembelajaran
matematika. Sebagai contoh, peserta
didik sekolah menengah atas dari kalangan keluarga nelayan dan menengah kebawah
yang ditanya mengapa mereka tidak mendaftar di perguruan tinggi menjawab dengan
alasan berikut, "Saya tidak tahu bahwa Saya bisa, dan saya rasa akan
gagal". Guru juga menemukan bahwa
banyak peserta didik tidak menyukai matematika dan merasa tidak bisa. Melihat
kondisi ini guru harus memberdayakan peserta didik pinggiran kota dan peserta
didik yang beragam untuk membangun "identitas matematika" yang dan
untuk mendekonstruksi keyakinan bahwa mereka tidak mampu belajar matematika.
Ini adalah aspek penting dalam
pengajaran matematika yang responsif terhadap budaya. Guru harus memiliki
keyakinan bahwa peserta didik-peserta didik desa dari kalangan menengah ke
bawah mereka dapat belajar matematika dan, yang lebih penting lagi,
menyampaikannya kepada mereka dengan mengatakan menceritakan sosok Lintang
dalam “Laskar pelangi”. Teman sekelas Ikal yang sangat berbakat. Ayahnya
bekerja sebagai nelayan miskin yang tidak memiliki perahu dan harus menghidupi
keluarga yang terdiri dari 14 orang. Lintang menunjukkan minat yang besar untuk
bersekolah sejak hari pertamanya di sekolah. Dia selalu aktif di kelas dan
memiliki ambisi untuk menjadi ahli matematika. Cita-citanya harus direlakan
setelah kematian ayahnya agar ia dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhan
keluarganya. Guru harus menghilangkan rasialisme matematika dan membantu
peserta didik kekurangan memahami bahwa matematika diciptakan dan dipraktikkan
oleh semua orang di semua budaya.
Tidak ada yang bisa lebih
memberdayakan yang lebih memberdayakan daripada menghilangkan miskonsepsi. Guru
harus mencari ahli matematika dari latar belakang peserta didik latar belakang
peserta didik untuk membuktikan bahwa orang-orang dari ras/etnis mereka dapat
mengerjakan matematika dan melakukannya dengan baik. Selanjutnya, beritahukan
kepada peserta didik bahwa jika mereka dapat menggunakan uang, mereka memiliki
matematika dalam DNA mereka dan dengan demikian mereka dapat melakukan
matematika. Hal ini disampaikan pada bagian pendahuluan tentang motivasi.
Mengintegrasikan konten yang
relevan secara budaya ke dalam pengajaran matematika merupakan tantangan yang
sangat besar bagi para guru. Melalui serangkaian pengalaman guru hendaknya
melakukan pengajaran yang responsif budaya melibatkan pengintegrasian konten
yang relevan secara budaya ke dalam kurikulum matematika. Guru dapat
mengidentifikasi cara-cara khusus untuk mengintegrasikan konten yang relevan
secara budaya atau multikultural. Cara-cara tersebut antara lain: menggunakan
soal-soal yang familiar secara budaya; mengintegrasikan isu-isu sosial yang
relevan dengan komunitas peserta didik; dan mengevaluasi materi dan sumber daya
pembelajaran untuk mengetahui adanya kurikulum tersembunyi dan bias.
Sebagai contoh, dalam mengajarkan
konsep limit fungsi, saya mulai dengan menggunakan minat peserta didik
saya. Misalnya, ketika pendahuluan saya
mengajak peserta didik untuk memahami limit melalui serangkaian pengalaman yang
sudah dikenal: saya meminta kelas untuk meneriakkan artis favorite mereka dan
latar belakang budaya mereka, lalu bertanya kepada mereka tentang kosakata
limited edition pada barang-barang yang dipromosikan oleh artis-artis tersebut.
Saya juga meminta mereka untuk menyinggung kepada mereka tentang spidometer
motor mereka, karena sebagian besar mereka berkendara ke sekolah dengan sepeda motor,
hal ini berkaitan dengan konsep limit yang bisa digunakan untuk menghitung
kecepatan sesaat. Entah bagaimana, hal ini tampaknya membuat lebih banyak anak
terlibat dalam matematika dibandingkan jika saya hanya menuliskan angka-angka
di papan tulis yang tidak berhubungan dengan minat anak-anak.
Secara khusus, sebenarnya
matematika memberikan peluang besar untuk mengajar dan membantu peserta didik
belajar tentang isu-isu keadilan sosial, politik, dan ekonomi, terutama sebagai
alat analisis untuk memeriksa dan memahami isu-isu dan ketidakadilan komunitas
dan masyarakat di dunia yang tidak adil. Contoh penggunaan data tentang
kesenjangan antara kelompok ras dan perempuan diidentifikasi sebagai cara yang
ampuh untuk membantu peserta didik memahami stratifikasi sosial,
ketidaksetaraan, eksploitasi, dan penindasan. Sebagai contoh, mereka
menyarankan bahwa, untuk peserta didik perkotaan, data yang berkaitan dengan
peluang kerja, posisi kepemimpinan, kelulusan sekolah, olahraga, dan bisnis di
komunitas mereka akan memotivasi pembelajaran matematika. Namun sayangnya
materi tersebut tidak dijumpai di materi limit fungsi yang sedang dipelajari
mereka.
Strategi instruksional yang
efektif dan responsif terhadap budaya yang mencakup kontekstualisasi pembelajaran
bisa juga dengan menggunakan bahasa dan pengalaman peserta didik untuk terlibat
dalam konstruksi pengetahuan matematika dan pengembangan keterampilan,
scafolding matematika melalui pembelajaran dukungan teman sebaya serta
menggunakan contoh-contoh yang akrab dengan budaya, manipulatif, dan kegiatan
matematika langsung. Salah satu contoh
yang penulis lakukan adalah peserta didik dikelompokan untuk mengerjakan LKPD
kemudian saat mereka berkelompok penulis memberikan scafolding kepada mereka
yang membutuhkan dengan menggunakan bahasa yang mudah dan memposisikan diri
sebagai teman mereka.
Dalam literatur mengenai
pengajaran yang tanggap budaya, banyak penelitian telah mendokumentasikan gaya
belajar yang disukai dan dominan dari sebagian besar peserta didik minoritas,
yaitu gaya belajar kooperatif, kolaboratif, dan kelompok, serta pengaruhnya
terhadap pembelajaran dan kinerja yang positif. peserta didik minoritas lebih
responsif terhadap konteks pembelajaran dengan struktur kelompok yang
menekankan pembelajaran kooperatif. Oleh karena itu, para peserta menyimpulkan
bahwa pembelajaran kelompok harus menjadi dimensi pengajaran matematika yang
responsif kultur. Peserta yang belajar dalam konteks pembelajaran kelompok
mengingat lebih banyak teks secara signifikan daripada mereka yang ditugaskan
dalam konteks individual.
Dalam praktiknya penulis menemukan
memang benar di kelompok kecil, peserta didik yang cenderung pasif terlihat
lebih aktif dalam bekerja sama dengan teman-temannya atau dalam mengungkapkan
pendapatnya. Bahkan beberapa dari mereka ada yang berani bertanya secara
langsung saat guru mendatangi kelompoknya.
Pengajaran matematika yang tanggap
budaya berarti mendiferensiasi kelas matematika, meskipun beberapa peserta
memandang pendiferensiasi sebagai sesuatu yang bermanfaat karena mereka secara
pribadi telah mengalami dan menghargai peluang yang ditawarkannya secara
pribadi. Misalnya, di kelas XI IPS 2 masih ada peserta didik yang tidak bisa
memfaktorkan. Di kelas yang sama, saya memiliki peserta didik yang dapat
memfaktorkan dan mengalikan akar sekawan.
Karena matematika adalah tentang belajar dan mengeksplorasi keterampilan
baru, satu-satunya pilihan saya (yang dapat saya lihat) adalah mengajarkan
keterampilan memfaktorkan dan mengalikan akar sekawan kepada peserta didik yang
belum bisa dan membiarkan peserta didik yang sudah bisa membantu atau
mengerjakan soal yang lebih tinggi levelnya, atau. Melihat keragaman peserta
didik dalam kemampuan di sini diperlukan sebagai upaya guru merespon keadaan kelas.
Pembagian kelas matematika berarti mengekspos semua peserta didik pada kurikulum matematika berstatus tinggi yang sama dan memberikan tugas instruksional yang mendukung keberhasilan mereka seperti pembelajaran berdiferensiasi melalui diferensiasi konten, proses, produk maupun lingkungan belajar. Penulis melaksanakan difeensiasi produk dengan memberikan mereka keleluasaan memilih bentuk penugasan yang diberikan yaitu: visual, audio, atau kinestetik.Penugasan visual bisa dipilih oleh mereka yang menyukai hal-hal yang berbau dengan gambar visual, sedangkan audio bisa dipilih oleh mereka yang lebih tertarik dengan bidang audio sedangkan kinestetik diperuntukkan bagi mereka yang aktif bergerak.
Terdapat beberapa strategi yang
dikemukakan oleh Tanase (2019) yang bisa dilakukan oleh guru dalam pembelajaran
responsif kultir di bidang matematika dan sains yaitu (1) beberapa guru
menggunakan pembelajaran penemuan dengan melibatkan peserta didik dalam masalah
kehidupan nyata, (2) guru melibatkan peserta didik dalam kerja kolaboratif
untuk meningkatkan akuntabilitas, (3) guru membuat pembelajaran menjadi
menyenangkan. Melihat dari hasil observasi peserta didik di kleas XI IPS 2,
penulis memutuskan untuk memasukkan musik ke dalam pembelajaran. Di mana
penulis mengubah lirik lagu familiar dengan konten materi pembelajaran
Guru perlu mengetahui dan mampu terlibat dalam
praktik pengajaran matematika dalam lingkungan yang sesuai dengan budaya.
Pendidikan guru dan kegiatan pengembangan profesi guru harus secara jelas
melibatkan calon guru dan guru dalam masa percobaan serta memberikan contoh
bagaimana memberikan pendidikan matematika yang kultural responsif. Mengetahui
konsep adalah satu hal, tapi memodelkannya adalah hal yang sangat penting.
Mengingat peran penting literasi matematika dalam masyarakat berbasis
pengetahuan dan ilmu pengetahuan, peserta didik yang beragam di perkotaan
merupakan sumber daya yang kuat. Untuk mencapai tujuan ini, guru harus
mengembangkan kebiasaan latihan yang responsif dan pikiran yang berkembang.
Penerapan strategi pembelajaran responsif dapat lebih mengaktifkan peserta
didik dalam pembelajaran.
Abdulrahim,
N. A., & Orosco, M. J. (2020). Culturally responsive mathematics teaching:
A research synthesis. The urban review, 52, 1-25.
Gay,
G. (2018). Culturally responsive teaching: Theory, research, and
practice. teachers college press.
Tanase,
M. (2020). Is good teaching culturally responsive?. Journal of
Pedagogical Research, 4(3), 187-202.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan dikomentari, saya masih harus banyak belajar. Komentar dari Anda akan sangat membantu. ^_^