Sabtu, 28 Januari 2023

Pembelajaran Matematika yang Responsif Kultur di kelas XI IPS 2 SMA N 4 Tegal

 

 Abstract

The purpose of this article is to analyze or describe the implementation of culturally responsive mathematics learning in class XI IPS 2 SMA N 4 Tegal. Culturally responsive learning or relevant pedagogy is applied based on the theoretical framework of the study. The conclusion of this article is that knowing the concept of culturally responsive learning and practicing it is very important. Teachers can use various learner-centered strategies, such as discovery learning, activity centers, group work, and games. Similarly, teachers incorporate learners' culture into their math and science classes, by incorporating learners' interests into lessons, exposing learners to what they like, and using real-life examples that learners find relevant

Keywords: Cultural Responsive Learning, Cultural Responsive Mathematics Learning, High School

 

Pembelajaran Matematika yang Responsif Kultur di kelas XI IPS 2 SMA N 4 Tegal

 

Abstrak

Tujuan dari artikel ini adalah untuk analisa atau mendeskripsikan mengenai pelaksanaan pembelajaran matematika responsif kultur di kelas XI IPS 2 SMA N 4 Tegal. Pembelajaran yang tanggap terhadap budaya atau pedagogi yang relevan dengan diterapkan berdasarkan kerangka teori studi. Kesimpulan dari artikel ini adalah mengetahui konsep tentang pembelajaran yang responfif kultur  dan mempraktikannya adalah hal yang sangat penting guru dapat menggunakan berbagai strategi yang berpusat pada peserta didik, seperti pembelajaran penemuan, pusat-pusat kegiatan, kerja kelompok, dan permainan. Demikian pula, para guru memasukkan budaya peserta didik ke dalam kelas matematika dan sains mereka, dengan memasukkan minat peserta didik ke dalam pelajaran, mengekspos peserta didik pada hal yang mereka sukai, dan menggunakan contoh kehidupan nyata yang dianggap relevan oleh peserta didik

Kata Kunci: Pembelajaran Responsif Kultur, Pembelajaran Matematika, SMA

PENDAHULUAN

Banyak masalah dalam masyarakat disebabkan oleh perbedaan budaya dan kepribadian dalam segala aspek kehidupan. Indonesia merupakan negara dengan beragam suku budaya dan agama. Penduduk Indonesia terdiri dari penduduk asli keturunan Cina, Arab dan India, serta kelompok India atau Eurasia, yaitu campuran antara orang Indonesia dan orang Eropa. Masyarakat adat Indonesia sendiri memiliki lebih dari 300 suku bangsa dengan identitas budaya dan bahasanya masing-masing. Ini belum termasuk keberadaan lima agama besar yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha, serta kepercayaan suku dan agama tertentu yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Keragaman Indonesia adalah kekuatannya, tetapi kurangnya pemahaman, toleransi dan saling pengertian dalam menghadapi perbedaan membuatnya rawan konflik. Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah melalui pendidikan.

Pendidikan sebagai upaya membangun bangsa dapat dengan bangga menanggapi budaya yang ada. Melalui pendidikan, nilai-nilai toleransi dan saling pengertian dapat ditanamkan kepada masyarakat, terutama kepada anak-anak sejak dini. Pendidikan yang merangkul keberagaman dan mengakomodasi perbedaan untuk mencapai tujuan yang sama yaitu mencerdaskan adalah pendidikan yang responsif kultur. Pendidikan yang responsif kultur berarti menggunakan kebiasaan, karakteristik, pengalaman, dan perspektif peserta didik sebagai alat untuk pengajaran yang lebih baik di kelas. Ketika pengetahuan dan keterampilan akademis ditempatkan dalam pengalaman hidup dan kerangka acuan bagi peserta didik, pengetahuan dan keterampilan tersebut akan lebih bermakna secara pribadi, memiliki daya tarik yang lebih tinggi, dan dipelajari dengan lebih mudah dan menyeluruh. Pembelajaran seperti ini akan membantu peserta didik untuk melihat diri mereka sendiri dan komunitas mereka sebagai bagian dari sekolah dan ruang akademis lainnya, yang mengarah pada lebih banyak keterlibatan dan kesuksesan. Kultur atau budaya mengacu pada adat istiadat, bahasa, nilai, kepercayaan, dan pencapaian sekelompok orang. Budaya dan pengalaman hidup peserta didik yang memengaruhi cara mereka memahami dan memaknai dunia atau diri mereka sendiri merupakan bagian integral dari diri mereka sebagai pelajar.

Ada tiga komponen dari pedagogi yang relevan secara budaya:(1) pembelajaran peserta didik-memprioritaskan pertumbuhan intelektual peserta didik, termasuk kemampuan mereka untuk memecahkan masalah;(2) kompetensi budaya-menciptakan lingkungan di mana peserta didik menegaskan dan menghargai budaya asal mereka sekaligus mengembangkan kefasihan dalam setidaknya satu budaya lain; dan(3) kesadaran kritis-mengajarkan peserta didik bagaimana mengidentifikasi, menganalisis, dan memecahkan masalah dunia nyata, terutama yang mengakibatkan ketidakadilan sosial terhadap kelompok-kelompok yang terpinggirkan. Penelitian Gay (2018) menunjukkan lima komponen penting dalam pengajaran yang tanggap budaya:

  1.  Dasar pengetahuan yang kuat tentang keragaman budaya. Guru harus memahami nilai-nilai budaya, tradisi, dan kontribusi kelompok ras dan etnis yang berbeda kepada masyarakat, dan memasukkan pengetahuan tersebut ke dalam pengajaran mereka.
  2. Kurikulum yang relevan secara budaya. Guru harus memasukkan berbagai perspektif dalam pengajaran mereka dan memastikan gambar yang ditampilkan di kelas-seperti di papan pengumuman-mewakili berbagai keragaman. Guru juga harus mengontekstualisasikan isu-isu dalam ras, kelas, etnis, dan gender.
  3. Ekspektasi yang tinggi untuk semua peserta didik. Guru harus membantu peserta didik mencapai keberhasilan akademis sambil tetap mengesahkan identitas budaya mereka.
  4. Penghargaan terhadap gaya komunikasi yang berbeda. Guru harus memahami gaya komunikasi yang berbeda dan memodifikasi interaksi di dalam kelas. Sebagai contoh, banyak komunitas kulit berwarna yang memiliki gaya komunikasi yang aktif dan partisipatif. Seorang guru yang tidak memahami konteks budaya ini mungkin akan berpikir bahwa seorang peserta didik bersikap tidak sopan dan menyuruh peserta didik tersebut untuk diam. Peserta didik tersebut mungkin akan diam.  
  5. Penggunaan contoh-contoh instruksional multikultural. Guru harus menghubungkan pengetahuan dan pengalaman budaya peserta didik dengan pengetahuan baru.

Peserta didik membawa banyak pengalaman budaya dan bahasa ke dalam kelas, sehingga sangat penting bagi guru untuk menerapkan praktik pembelajaran matematika yang responsif kultur (PMRK). Penelitian Abdulrahim (2020) menunjukkan bahwa PMRK dapat meningkatkan keterlibatan peserta didik dan meningkatkan pembelajaran bagi peserta didik dengan latar belakang budaya dan bahasa yang beragam di semua tingkatan kelas. Oleh karena itu, program persiapan dan pengembangan profesional guru harus berfokus pada pengembangan disposisi guru untuk menggunakan PMRK serta membangun pengetahuan dan kompetensi mereka untuk menggunakan pendekatan pengajaran ini.

Beberapa dari guru mungkin berpikiran bahwa matematika adalah ilmu yang netral dan universal sehingga tidak ada sangkut pautnya dengan keadaan sosial seperti isu-isu budaya. Padahal pengajaran yang responsif terhadap budaya harus menjadi elemen integral dalam program matematika untuk peserta didik minoritas bahwa pedagogi semacam itu akan mendorong semangat tanggung jawab pribadi, yang akan memungkinkan peserta didik untuk keluar dari lingkaran setan penindasan dan viktimisasi yang mereka alami.

Untuk pertanyaan, apa saja praktik pengajaran matematika yang responsif kultur? Data menunjukkan beberapa tema dan pengajaran matematika yang sesuai dengan budaya bersifat inklusif dan mengakui bahwa hal tersebut bersifat multidimensi (Gay, 2018) serta melibatkan lebih dari sekedar upaya kurikuler. Dari data tersebut, muncul tujuh tema utama.

  1. Menghilangkan miskonsepsi tentang pengajaran dan pembelajaran matematika.
  2. Mengintegrasikan konten yang relevan secara budaya dengan isu-isu sosial dan keadilan.
  3. Menggunakan strategi pembelajaran yang relevan secara budaya.
  4. Mempromosikan pembelajaran kolaboratif.
  5. Keterbukaan peserta didik terhadap pemikiran dan pemecahan masalah yang beragam.
  6. Menghilangkan kebosanan di kelas matematika; dan
  7. Kesadaran Kritis, Advokasi, dan Upaya Guru.

Peserta didik di kelas XI IPS 2 SMA N 4 Tegal memiliki keberagaman seperti agama dan demografi. Selain Islam, beberapa peserta didik memeluk agama lain, seperti Kristen. Selain itu, beberapa peserta didik memiliki fisik yang berbeda karena perbedaan etnis. Jangankan status sosial, ada perbedaan yang cukup besar bahkan jika Anda hanya melihat bidang pekerjaan orang tua. Dalam konteks yang beragam ini, ada alasan kuat mengapa peserta didik kelas XI IPS 2 membutuhkan pembelajaran matematika yang responsif kultur.

 METODE

Metode penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang lebih menekankan analisa atau deskriptif mengenai pelaksanaan pembelajaran matematika responsif kultur di kelas XI IPS 2 SMA N Tegal, dengan materi limit fungsi aljabar. Metode ini juga mengangkat fakta,  keadaan, variabel, dan fenomena-fenomena  yang  terjadi  ketika  penelitian  berlangsung  dan  menyajikan dengan apa adanya. Peneliti juga menganggap metode ini tepat untuk pembelajaran matematika yang responsif kultur, supaya hasilnya dapat dikaji lebih lanjut untuk mengenali kekurangan dan kelebihan serta menemukan  upaya  penyempurnaannya. Dalam penelitian ini, penulis akan melakukan pengumpulan data, analisis data, interpretasi data, serta mengakhirinya dangan kesimpulan yang didasarkan pada analisis data.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam mengimplementasikan pendidikan yang responsif kultur di sekolah, perencanaan pembelajaran harus terlebih dahulu memahami makna dan tujuan pembelajaran, serta memahami elemen-elemen yang terlibat di dalamnya baik secara teoritis maupun praktis. Kemampuan untuk membuat rencana pembelajaran adalah langkah pertama yang dibutuhkan setiap guru untuk mencapai pengembangan karakter di sekolah dan merupakan titik temu dari semua pengetahuan teoritis, keterampilan dasar, dan pemahaman yang mendalam tentang objek dan situasi pembelajaran. Saya membutuhkannya sebagai sebuah poin. RPP harus jelas tentang karakteristik peserta didik dan kompetensi dasar.

Perencanaan pengembangan budaya sekolah di SMA Negeri 4 Tegal dalam konteks RPP sering dikaitkan dengan penyusunan dan pengelolaan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) lainnya. Hal ini merupakan perkiraan atau prediksi guru untuk semua kegiatan. Guru dan peserta didik, terutama dalam pembelajaran yang bergantung pada budaya.

Rencana pembelajaran harus mendukung perencanaan pengembangan budaya sekolah dalam hal dimensi fisik, nilai-nilai, dan pesan-pesan verbal. Sejauh peneliti melakukan observasi lapangan, kami menemukan bahwa semua guru memiliki rencana pembelajaran dan alat manajemen lainnya. Hal ini mencakup tujuan pembelajaran, sumber belajar, dan rencana penilaian pembelajaran.

Integrasi pengajaran yang peka budaya ke dalam rencana pembelajaran yang dilaksanakan guru tercermin dalam penentuan nilai yang dikembangkan dalam kegiatan belajar mengajar. Lebih tepatnya, pengembangan pengembangan kepribadian yang diintegrasikan ke dalam proses pembelajaran dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian pembelajaran pada semua mata pelajaran. Prinsip-prinsip yang dapat diadopsi dalam desain perencanaan pembelajaran (pengembangan kegiatan pembelajaran dan penilaian dalam kurikulum, RPP, materi), pelaksanaan dan penilaian proses pembelajaran antara lain adalah prinsip-prinsip pembelajaran kontekstual yang telah dipaparkan sebelumnya kepada para guru. Pada tahap ini, kurikulum, rencana pembelajaran, dan bahan ajar dirancang sedemikian rupa sehingga isi dan kegiatan pembelajaran memfasilitasi/menyampaikan pengajaran yang relevan secara budaya.

Aktualisasi pembelajaran respnsif kultur yang diintegrasikan dalam perencanaan pelaksaan pembelajaran adalah menghilangkan miskonsepsi tentang pengajaran dan pembelajaran matematika. Peserta didik cenderung menganggap dirinya tidak mampu dalam pembelajaran matematika.  Sebagai contoh, peserta didik sekolah menengah atas dari kalangan keluarga nelayan dan menengah kebawah yang ditanya mengapa mereka tidak mendaftar di perguruan tinggi menjawab dengan alasan berikut, "Saya tidak tahu bahwa Saya bisa, dan saya rasa akan gagal".  Guru juga menemukan bahwa banyak peserta didik tidak menyukai matematika dan merasa tidak bisa. Melihat kondisi ini guru harus memberdayakan peserta didik pinggiran kota dan peserta didik yang beragam untuk membangun "identitas matematika" yang dan untuk mendekonstruksi keyakinan bahwa mereka tidak mampu belajar matematika.

Ini adalah aspek penting dalam pengajaran matematika yang responsif terhadap budaya. Guru harus memiliki keyakinan bahwa peserta didik-peserta didik desa dari kalangan menengah ke bawah mereka dapat belajar matematika dan, yang lebih penting lagi, menyampaikannya kepada mereka dengan mengatakan menceritakan sosok Lintang dalam “Laskar pelangi”. Teman sekelas Ikal yang sangat berbakat. Ayahnya bekerja sebagai nelayan miskin yang tidak memiliki perahu dan harus menghidupi keluarga yang terdiri dari 14 orang. Lintang menunjukkan minat yang besar untuk bersekolah sejak hari pertamanya di sekolah. Dia selalu aktif di kelas dan memiliki ambisi untuk menjadi ahli matematika. Cita-citanya harus direlakan setelah kematian ayahnya agar ia dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Guru harus menghilangkan rasialisme matematika dan membantu peserta didik kekurangan memahami bahwa matematika diciptakan dan dipraktikkan oleh semua orang di semua budaya.

Tidak ada yang bisa lebih memberdayakan yang lebih memberdayakan daripada menghilangkan miskonsepsi. Guru harus mencari ahli matematika dari latar belakang peserta didik latar belakang peserta didik untuk membuktikan bahwa orang-orang dari ras/etnis mereka dapat mengerjakan matematika dan melakukannya dengan baik. Selanjutnya, beritahukan kepada peserta didik bahwa jika mereka dapat menggunakan uang, mereka memiliki matematika dalam DNA mereka dan dengan demikian mereka dapat melakukan matematika. Hal ini disampaikan pada bagian pendahuluan tentang motivasi.

Mengintegrasikan konten yang relevan secara budaya ke dalam pengajaran matematika merupakan tantangan yang sangat besar bagi para guru. Melalui serangkaian pengalaman guru hendaknya melakukan pengajaran yang responsif budaya melibatkan pengintegrasian konten yang relevan secara budaya ke dalam kurikulum matematika. Guru dapat mengidentifikasi cara-cara khusus untuk mengintegrasikan konten yang relevan secara budaya atau multikultural. Cara-cara tersebut antara lain: menggunakan soal-soal yang familiar secara budaya; mengintegrasikan isu-isu sosial yang relevan dengan komunitas peserta didik; dan mengevaluasi materi dan sumber daya pembelajaran untuk mengetahui adanya kurikulum tersembunyi dan bias.

Sebagai contoh, dalam mengajarkan konsep limit fungsi, saya mulai dengan menggunakan minat peserta didik saya.  Misalnya, ketika pendahuluan saya mengajak peserta didik untuk memahami limit melalui serangkaian pengalaman yang sudah dikenal: saya meminta kelas untuk meneriakkan artis favorite mereka dan latar belakang budaya mereka, lalu bertanya kepada mereka tentang kosakata limited edition pada barang-barang yang dipromosikan oleh artis-artis tersebut. Saya juga meminta mereka untuk menyinggung kepada mereka tentang spidometer motor mereka, karena sebagian besar mereka berkendara ke sekolah dengan sepeda motor, hal ini berkaitan dengan konsep limit yang bisa digunakan untuk menghitung kecepatan sesaat. Entah bagaimana, hal ini tampaknya membuat lebih banyak anak terlibat dalam matematika dibandingkan jika saya hanya menuliskan angka-angka di papan tulis yang tidak berhubungan dengan minat anak-anak.

Secara khusus, sebenarnya matematika memberikan peluang besar untuk mengajar dan membantu peserta didik belajar tentang isu-isu keadilan sosial, politik, dan ekonomi, terutama sebagai alat analisis untuk memeriksa dan memahami isu-isu dan ketidakadilan komunitas dan masyarakat di dunia yang tidak adil. Contoh penggunaan data tentang kesenjangan antara kelompok ras dan perempuan diidentifikasi sebagai cara yang ampuh untuk membantu peserta didik memahami stratifikasi sosial, ketidaksetaraan, eksploitasi, dan penindasan. Sebagai contoh, mereka menyarankan bahwa, untuk peserta didik perkotaan, data yang berkaitan dengan peluang kerja, posisi kepemimpinan, kelulusan sekolah, olahraga, dan bisnis di komunitas mereka akan memotivasi pembelajaran matematika. Namun sayangnya materi tersebut tidak dijumpai di materi limit fungsi yang sedang dipelajari mereka.

Strategi instruksional yang efektif dan responsif terhadap budaya yang mencakup kontekstualisasi pembelajaran bisa juga dengan menggunakan bahasa dan pengalaman peserta didik untuk terlibat dalam konstruksi pengetahuan matematika dan pengembangan keterampilan, scafolding matematika melalui pembelajaran dukungan teman sebaya serta menggunakan contoh-contoh yang akrab dengan budaya, manipulatif, dan kegiatan matematika langsung.  Salah satu contoh yang penulis lakukan adalah peserta didik dikelompokan untuk mengerjakan LKPD kemudian saat mereka berkelompok penulis memberikan scafolding kepada mereka yang membutuhkan dengan menggunakan bahasa yang mudah dan memposisikan diri sebagai teman mereka.

Dalam literatur mengenai pengajaran yang tanggap budaya, banyak penelitian telah mendokumentasikan gaya belajar yang disukai dan dominan dari sebagian besar peserta didik minoritas, yaitu gaya belajar kooperatif, kolaboratif, dan kelompok, serta pengaruhnya terhadap pembelajaran dan kinerja yang positif. peserta didik minoritas lebih responsif terhadap konteks pembelajaran dengan struktur kelompok yang menekankan pembelajaran kooperatif. Oleh karena itu, para peserta menyimpulkan bahwa pembelajaran kelompok harus menjadi dimensi pengajaran matematika yang responsif kultur. Peserta yang belajar dalam konteks pembelajaran kelompok mengingat lebih banyak teks secara signifikan daripada mereka yang ditugaskan dalam konteks individual.

Dalam praktiknya penulis menemukan memang benar di kelompok kecil, peserta didik yang cenderung pasif terlihat lebih aktif dalam bekerja sama dengan teman-temannya atau dalam mengungkapkan pendapatnya. Bahkan beberapa dari mereka ada yang berani bertanya secara langsung saat guru mendatangi kelompoknya.

Pengajaran matematika yang tanggap budaya berarti mendiferensiasi kelas matematika, meskipun beberapa peserta memandang pendiferensiasi sebagai sesuatu yang bermanfaat karena mereka secara pribadi telah mengalami dan menghargai peluang yang ditawarkannya secara pribadi. Misalnya, di kelas XI IPS 2 masih ada peserta didik yang tidak bisa memfaktorkan. Di kelas yang sama, saya memiliki peserta didik yang dapat memfaktorkan dan mengalikan akar sekawan.  Karena matematika adalah tentang belajar dan mengeksplorasi keterampilan baru, satu-satunya pilihan saya (yang dapat saya lihat) adalah mengajarkan keterampilan memfaktorkan dan mengalikan akar sekawan kepada peserta didik yang belum bisa dan membiarkan peserta didik yang sudah bisa membantu atau mengerjakan soal yang lebih tinggi levelnya, atau. Melihat keragaman peserta didik dalam kemampuan di sini diperlukan sebagai upaya guru merespon keadaan kelas.

Pembagian kelas matematika berarti mengekspos semua peserta didik pada kurikulum matematika berstatus tinggi yang sama dan memberikan  tugas instruksional yang mendukung keberhasilan mereka seperti pembelajaran berdiferensiasi melalui diferensiasi konten, proses, produk maupun lingkungan belajar. Penulis melaksanakan difeensiasi produk dengan memberikan mereka keleluasaan memilih bentuk penugasan yang diberikan yaitu: visual, audio, atau kinestetik.Penugasan visual bisa dipilih oleh mereka yang menyukai hal-hal yang berbau dengan gambar visual, sedangkan audio bisa dipilih oleh mereka yang lebih tertarik dengan bidang audio sedangkan kinestetik diperuntukkan bagi mereka yang aktif bergerak.

Terdapat beberapa strategi yang dikemukakan oleh Tanase (2019) yang bisa dilakukan oleh guru dalam pembelajaran responsif kultir di bidang matematika dan sains yaitu (1) beberapa guru menggunakan pembelajaran penemuan dengan melibatkan peserta didik dalam masalah kehidupan nyata, (2) guru melibatkan peserta didik dalam kerja kolaboratif untuk meningkatkan akuntabilitas, (3) guru membuat pembelajaran menjadi menyenangkan. Melihat dari hasil observasi peserta didik di kleas XI IPS 2, penulis memutuskan untuk memasukkan musik ke dalam pembelajaran. Di mana penulis mengubah lirik lagu familiar dengan konten materi pembelajaran

 KESIMPULAN

Guru perlu mengetahui dan mampu terlibat dalam praktik pengajaran matematika dalam lingkungan yang sesuai dengan budaya. Pendidikan guru dan kegiatan pengembangan profesi guru harus secara jelas melibatkan calon guru dan guru dalam masa percobaan serta memberikan contoh bagaimana memberikan pendidikan matematika yang kultural responsif. Mengetahui konsep adalah satu hal, tapi memodelkannya adalah hal yang sangat penting. Mengingat peran penting literasi matematika dalam masyarakat berbasis pengetahuan dan ilmu pengetahuan, peserta didik yang beragam di perkotaan merupakan sumber daya yang kuat. Untuk mencapai tujuan ini, guru harus mengembangkan kebiasaan latihan yang responsif dan pikiran yang berkembang. Penerapan strategi pembelajaran responsif dapat lebih mengaktifkan peserta didik dalam pembelajaran.

 DAFTAR PUSTAKA

Abdulrahim, N. A., & Orosco, M. J. (2020). Culturally responsive mathematics teaching: A research synthesis. The urban review52, 1-25.

Gay, G. (2018). Culturally responsive teaching: Theory, research, and practice. teachers college press.

Tanase, M. (2020). Is good teaching culturally responsive?. Journal of Pedagogical Research4(3), 187-202.


Tonton Video Praktik Pembelajaran Siklus 2klik di sini
Download Perangkat Pembelajaranklik di sini


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan dikomentari, saya masih harus banyak belajar. Komentar dari Anda akan sangat membantu. ^_^