Senin, 04 Oktober 2010

Tak kan Sampai di sini

Buk! Kuhempaskan ransel penuh buku di kasur. Segera kuberlari ke dapur dan mengalirkan beberapa teguk air ke kerongkonganku. Glek...glek... Sedikit menyejukkan, tetapi tetap masih terasa kepayahan akibat kuliah kalkulus yang membuat jantung berpacu keras dan menegangkan urat syaraf. Huhf.
Penyebabnya klasik, aku tidak bisa mengerjakan soal di depan kelas. Tapi yang membuatku kesal adalah sepertinya hanya aku seorang yang merasa demikian. Aku merasa bebal. Padahal waktu SMA tak ada masalah serius dengan otakku. Oh God! Aku sulit memahami keadaan sekarang. Tambah pula cuaca hari ini terlalu bersahabat alias cerah tanpa awan (dijamin cucian kering tuh!). “bikin tambah otak mendidih aja”, omelku.
Saat kuputuskan untuk meluapkan itu semua dengan nonton TV, seseorang membuka pintu. Ternyata my friend datang.
“wa’alaykumsalam!! Neng cuantik” kataku. Waks!! Siapa yang yang salam?
“Eh, assalamu’alaykum! Afwan ukhti” sahutnya sambil berlalu ke kamarnya begitu saja.
“iya deh, ane maafin, habisnya masuk kos kok nggak pengumuman dulu”. Lho, tidak ada tanggapan ya? ”tapi jangan diulangin pas nikah nantii ye?”. Duh, kok masih sepi. Apa ada yang salah ya? Biasanya doi have fun saja kalau diajak bercanda. Hei, what’s wrong with her?
“Dev.. Deva.. maafin ane, ane Cuma bercanda kok, jangan masukin ke hati ya, masukin aja ke telinga kiri terus keluarin ke telinga kanan, udah gitu anti remes-remes aja trus masukin ke tong sampah!!” (waduh, belibet amat ya?!)^_^
Selang beberapa detik, akhirnya Deva keluar juga dari kamarnya. Mukanya menggambarkan kalau ada beban berat di pundaknya. Tampaknya dia sedang ada masalah. Tanpa menunggu lama segera ia ceritakan kepadaku permasalahan yang membuatnya sedemikian dilema. Sangat lepas. Aku dan dia memang begitu akrab, padahal belum genap dua semester ini kami berteman, tapi hubungan kami begitu dekat. Dan aku pun tidak keberatan mejadi “ember” ketika dia butuh wadah untuk menumpahkan semua perasaannya.
Kali ini yang menjadi masalah adalah bahwa Deva dikhitbah oleh seorang ikhwan. Masalah yang sama ketika semester satu lalu. Hanya saja yang dulu adalah orang yang Deva belum kenal sama sekali, jadi meskipun keluarganya mendukung, dengan alasan ingin kuliah dulu habis perkara deh. Tetapi yang kedua ini beda, ikhwan yang satu ini sudah kenal baik dengan Deva maupun keluarganya, dan yang dapat saya tangkap dari “antena” instingku, Deva ragu untuk menolak lamaran tersebut. Padahal ia belum siap. Ia bingung apa yang harus dilakukannya.