Kamis, 08 Maret 2012

refleksi cermin

Sekarang Aku butuh cermin untuk melihat diriku sendiri. Melihat sesuatu yang tidak Aku sadari. Mungkin Aku telah melewatkan banyak hal, baik kecil maupun besar. Aku tidak tahu.

Aku membutuhkan cermin. Tanpa cermin, Aku tidak dapat melihat apa yang ada dibelakang sana. Ada hal yang hilang dariku. Apakah setara dengan apa yang telah kudapatkan? Aku juga tidak tahu.
Mungkin Aku tidak membutuhkan cermin. Terkadang ada hal yang sama. Selalu begitu. Ah, merah padam wajah ini mengingatnya.
Untuk apa cermin? Bila sudah tahu, lantas apa yang akan aku lakukan? Belum tahu. Melihat masa lalu tidak terlalu banyak orang yang menginginkannnya. Berbeda dengan kembali ke masa lalu. Banyak yang menginginkan hal mustahil itu. Kau pasti sudah tahu alasannya.
Argh! Aku lelah bercermin. Ingin kupecahkan cermin itu. Biar ramai, biar gaduh sekalian (AADC bangetz) Menghalangi pandanganku saja. Aku ingin sekali tahu apa yang ada di hadapanku. Apa yang menungguku? Apa yang ada di balik cermin itu? Sering kali tidak sabar.
Tapi, mungkin kali ini memang aku butuh cermin. Cermin yang lebih besar. Untuk melihat bahwa aku tidak sendiri. Ada banyak orang di belakang aku dengan senyuman dan doa terbaik mereka. Mereka menaruh harapan besar. Kalau mereka saja yakin mengapa aku tidak?
Begitu banyak kata cermin. Tapi yang jelas cermin itu bukan dalam artian sebenarnya. Menjelang tahun ke 21 kelahiranku, Aku tidak akan banyak-banyak berdiri di depan cermin (haha.. kayak gak ada kerjaan lain saja). Lebih baik banyak-banyak beristighfar dari pada bercermin karena mungkin (pasti) dosa-dosaku lebih banyak dari pada pahalaku. Mungkin Aku adalah orang yang merugi. Makanya tidak mengherankan kalau seorang Ali Bin Abi Thalib saja pernah mengatakan bahwa cukup beruntung orang yang dosanya berimbang dengan pahalanya, 0 – 0. Karena Aku pun merasa tidak mudah untuk mewujudkan yang demikian. Sebanyak waktuku di dunia, maka seiring itu pula Aku banyak berbuat dosa. Berusaha menebusnya dengan kebaikan. Padahal banyak perbuatan maksiat yang berkedok kebaikan. Kalau pun itu benar kebaikan, belum tentu Allah akan menerimanya, karena ikhlas dan riya terlalu samar batasnya. Astaghfirullah...
Allahu’alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan dikomentari, saya masih harus banyak belajar. Komentar dari Anda akan sangat membantu. ^_^